Br Delod Pempatan Lukluk

Foto saya
Badung, Bali, Indonesia
YOGA COMPUTER SERVICE SOFTWARE $ HARDWARE ALAMAT JL RAYA LUKLUK BR DELOD PEMPATAN LUKLUK GG PAHLAWAN NO 7 TLP (0361) 7955357

Minggu, 07 Maret 2010

ARYA KUBON TUBUH

Babad Keramas
Isi Singkat Babad Keramas
Pujaan kepada para leluhur, dan pernyataan naskah tersebut adalah Raja Purana Puri Keramas.
Riwayat Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa sebagai raja Koripan, dikalahkan oleh pasukan dari Melayu dan Raja Warawiri (Jawa) hingga wafat pada Çaka 930 (1008 M).
Sri Erlangga yang berada di Jawa sempat menghindarkan diri ke gunung bersama patihnya Narottama. Kemudian baginda menjadi raja Koripan, berputra tiga orang, seorang wanita, dua orang pria, yang bernama Sri Semara Karma dan Sri Jaya Warsa.
Mpu Baradah diutus ke Bali untuk mendudukkan salah seorang putra itu menjadi raja. Ditolak oleh Mpu Kuturan sebab ada putra- putra anak Wungsu yang lebih punya hak untuk itu.
Kerajaan Erlangga dibagi dua oleh Mpu Baradah, Sri Semara Karma menjadi raja Janggala, Sri Jayawarsa raja Kediri. Sering terjadi pertempuran. Sri Semara Karma gugur, tinggal seorang putri di Janggala, bernama Dewi Candrakirana.
Sri Jayawarsa berpulang 1038 Isaka (1116 M). Sri Jayawarsa berputra lima orang yakni Sri Kameswara, Sri Jayabaya, Sri Sarweswara, Sri Hari Swara, Sri Kreta Dwipa.
Tahta Sri Kameswara kemudian digantikan oleh Sri Jayabaya dan selanjutnya berganti Sri Kerta Jaya (Prabu Dangdang Gendis).
Timbul pertempuran antara Kediri dengan Singasari (Çri Rajasa). Karena keangkuhan Dangdang Gendis kepada para pendeta maka akhirnya beliau mengalami kehancuran, Kediri dikuasai Singasari. Di Singasari terjadi pergantian raja berturut-turut dan raja terakhir adalah Sri Kertanegara.
Sri Jayasaba, putra Sri Kameswara kedua, berputra Sri Kresna Kepakisan (Aryeng Kediri). Kediri dikuasai oleh Majapahit, pulau Bali juga segera dapat dikuasai oleh Majapahit setelah tertawannya Pasung Grigis, yang kemudian diperintahkan untuk menggempur Sumbawa. Di Bali ditempatkan seorang Adipati yaitu Sri Kresna Kepakisan berkedudukan di Samprangan, didampingi oleh para Arya keturunan Sri Kameswara, antara lain: Arya Kanuruhan, Arya Pangalasan, Arya Dalancang, Arya Wangbang, Arya Kenceng, Arya Tan Wikan, Arya Manguri, Sira Wangbang, Sira Kutawaringin, Arya Gajah Para. Didampingi tiga orang Wesya, Tan Kober, Tan Kawur Tan Mundur, juga seorang keturunan Kepakisan bernama Nyuh Aya, menjabat patih, Çaka 1272 (1350 M).
Raden Agra Samprangan tidak mau mengendalikan roda pemerintahan, Kyayi Klapodyana menghadap Rahaden Cili dijadikan raja berkedudukan di Swecapura (Gelgel).
Arya Nyuh Aya berputra tujuh orang: Kryan Patandakan (Patih Agung), Kyayi Satra, Kyayi Akah, Kyayi Pelangan, Kyayi Kaloping, Kyayi Cacaran, Kyayi Anggan.
Rahaden Cili (Dalem Ketut) wafat Çaka 1382(1460 M) diganti oleh Dalem Waturenggong, dengan patih agung Kyayi Batan Jeruk putra Kyayi Patandakan.
Setelah wafat Dalem Waturenggong, pada masa pemerintahan Raden Pangarsa (Dalem Bekung) dan Dalem Seganing terjadi perebutan kekuasaan di bawah pimpinan Kyayi Batan Jeruk, namun dapat diatasi, berakibat gugurnya Kyayi Batan Jeruk. Berikutnya yang menjabat Patih Agung adalah Kyayi Manginte, putra dari Arya Asak (saudara dari Nyuh Aya).
Tersebut pula putra- putra Danghyang Nirartha sembilan orang, dari ibu asal Daha dua orang, dari ibu asal Pasuruhan dua orang, dari ibu asal Brangbangan tiga orang, ibu dari Pangeran Mas satu orang, ibu dari abdi Pangeran Mas satu orang.
Kyayi Manginte berputra dua orang, yakni Kyayi Agung Widya dan Kyayi Agung Pranawa.
Dalem Seganing bertahta Çaka 1502 (1580 M), Kyayi Agung Widya berputra lima orang dan Kyayi Pranawa berputra sembilan orang.
Disebutkan pula keturunan para Arya yang lain menggantikan kedudukan para orang tuanya masing-masing.
Dalem Seganing diganti oleh Dalem Dimade, terkenal dengan nama Raden Karangamla. Dalem Dimade berputra dua belas orang.Ditulis satu per satu keturunan Kyayi Agung Widya dan Kyayi Agung Pranawa.
Kyayi Kubon Tubuh (kedua) berputra dua orang. Kyayi Jumbuh dan Kyayi Nyanyap.
Secara singkat diuraikan riwayat hidup Pungakan Den Bancingah, keturunan Wong Lawu dari Majapahit, kemudian mengungsi ke Desa Nyalian membawa keris Ki Lobar,
Pemberontakan Anglurah Agung Dalem Dimade mengungsi ke Guliang Isaka 1589 sampai dengan 1608 (1667 M s/d 1686 M). Putra-putra Dalem Dimade, Raden Pambayun bersekutu dengan Kyayi Den Bancingah dan Raden Jambe bersekutu dengannya juga, berfungsi selaku pengatur siasat dan juga bersekutu dengan Kyayi Jambe (Badung). Dari Sidemen Raden Jambe mengatur siasat hendak menyerang Kyayi Agung Dimade atau I Gusti Agung Maruti, dengan patihnya Kyayi Dukut Kerta.
Bendesa Nyanyap (Kyayi Kubon Tubuh Karo) setia kepada Kyayi Agung Dimade, sedangkan Kyayi Jumbuh mengiringkan Dalem Dimade. Bandesa Nyanyap belum mempunyai keturunan (anak) maka diberikan seorang istri Kyayi Agung Dimade yang belum awidi widana, yang sedang hamil bernama Ni Gusti Mambal, Bandesa Nyanyap menerima dengan sumpah setia, lahir anak tersebut diberi nama Bandesa Gede Miber.

Dewa Jambe dengan pembela- pembelanya menyerang Swecanegara. Terjadi pertempuran hebat, jatuh korban pada kedua belah pihak. Kyayi Agung berperang tanding dengan Kyayi Jambe Pule, keduanya gugur di medan laga. Pasukan Kyayi Agung kalah, hingga mengungsi ke Jimbaran. Yang mampu menghentikan pertempuran itu adalah Ida Wayan Petung Gading, kelahiran Gelgel, diam di Jimbaran,
Kyayi Agung Dimade berputra empat orang, dua orang pria: I Gusti Putu Agung, I Gusti Agung Made Agung, dan dua orang wanita: I Gusti Agung Ayu Sasih kawin dengan seorang brahmana Geriya Kutuh Kamasan, adiknya ikut ke Jimbaran, bernama I Gusti Agung Ayu Ratih.
I Gusti Agung diam di Jimbaran bersama I Gusti Ler Pacekan putra Kyayi Panida. Kemudian keris Ki Sekar Gadung (pusaka I Gusti Agung) diambil oleh I Gusti Ler Pacekan dengan tipu muslihat, akhirnya I Gusti Agung mengabdikan diri di Badung pada I Gusti Tegeh Kori, tetapi ditolak disuruh mengabdi pada Pangeran Kapal.
I Gusti Agung langsung ke Kapal diiringkan oleh I Melang seorang abdi kepercayaan I Gusti Tegeh Kori, dam bersama-sama mengabdi di sana.
Berkat tipu daya I Melang, timbul peperangan antara Kapal dan Buringkit, dengan alasan putri Buringkit dipermainkan dengan seekor kuda oleh Kyayi Kapal, Kyayi Kapal dikalahkan oleh Buringkit yang dibantu oleh I Gusti Ler Pacekan dengan keris Ki Sekar Gadung.
I Gusti Agung kembali lagi dari Kapal ke Jimbaran. Bertapa di Goa Gong memperoleh keris Ki Bintang Kukus. Kemudian I Gusti Agung menyerang I Gusti Ler Pacekan di Kapal. I Gusti Ler Pacekan dapat dibunuh oleh I Gusti Agung keris Ki Sekar Gadung kembali ke tangan I Gusti Agung, dan kembali ke desa Kapal.
Kemudian I Gusti Made Agung menetap di Kapal. I Gusti Agung Putu Agung kembali ke Jimbaran. Bandesa Gede Miber ikut ke Jimbaran bersama pengiring-pengiringnya semua. Lalu Bandesa Gede Miber disuruh ke desa Rangkes. Anak- anaknya yang masih di Jimbaran diberikan tugas-tugas khusus.
I Gusti Agung Putu pindah dari Jimbaran ke Cawurangka, dan selanjutnya ke desa Keramas - Çaka 1672 (1750 M). Istananya di Jimbaran diberikan kepada Bendesa Salahin.
I Gusti Agung Putu Agung menata Desa Keramas, dengan menguasakan kepada petugas- petugas yang ditunjuknya membentuk desa- desa di sekitarnya.
Keturunan Bendesa Gede Miber: Bendesa Kedeh ditetapkan oleh I Gusti Agung Putu Agung sebagai pangemong pura Masceti turun- temurun. Sedangkan I Sukra di Rangkes dilantik oleh I Gusti Agung Made Agung dengan nama - Bendesa Gde Gumyar, yang mampu mengalahkan Ki Balian Batur.
I Gusti Agung Made Agung berkuasa di Kapal, semua desa-desa di sekitarnya dapat dikuasai.
I Gusti Agung Made Agung merelakan adiknya I Gusti Ayu Ratih menjadi istri Pedanda Wanasara di Tabanan, I Gusti Agung Putu Agung salah paham dan membunuh Pedanda Wanasara, sebelum wafat mengutuk I Gusti Agung Made Agung.
I Gusti Agung Putu Agung juga terkutuk oleh Pedanda Batulumbang yang dibunuh di Cawu Rangke dahulu.
Terjadi percekcokan antara Keramas dengan Serongga, tetapi kemudian berbaik kembali, hingga banyak rakyat Keramas pindah ke Medahan.
I Gusti Agung Putu Agung berputra dua orang, yaitu I Gusti Agung Maruti Katrini dan I Gusti Agung Rai, pindah ke Medahan, semua mempunyai keturunan.
I Gusti Agung Made Agung berputra I Gusti Agung Blangbangan yang banyak keturunannya.
I Dewa Manggis (Gianyar) menguasai daerah-daerah/ desa-desa sebelah timur kekuasaan Mengwi sampai dengan daerah I Gusti Gede Keramas.
Keraton I Gusti Ngurah Jlantik Blahbatuh, mengalami kehancuran akibat kutukan seorang istrinya dari Puri Keramas bernama I Gusti Ayu Muter yang dibunuh tanpa dosa, kemudian dibuatkan pura bernama Suka Lewih.
Terjadi percekcokan antara Gianyar dengan Klungkung, Gianyar tidak taat lagi kepada Klungkung. Keramas diadu oleh Gianyar dengan pimpinannya bernama I Gusti Agung Palak, Bakas, dan Nyalian dapat dikuasai oleh Gianyar.
I Gusti Agung Palak tidak diterima lagi oleh keluarganya di Keramas, karena keris pusakanya Ki Bintang Kukus telah diambil oleh I Dewa Manggis.Kerajaan Gianyar dikendalikan oleh I Dewa Manggis dengan Patih Ki Pasek Cedok.
Dilanjutkan dengan susunan silsilah Puri Keramas, dan perpindahan keluarga serta peristiwa- peristiwa yang pada umumnya berkisar pada kekeluargaan (lokal) Puri Kaleran, Kanginan Medahan, dan lain-lain.

Nama/ Judul Babad :
Babad Keramas
Koleksi :
A. A. Raka Parta.
Alamat :
Puri Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.
Bahasa :
Jawa Kuna.
Huruf :
Bali
Jumlah halaman :
43 lembar (1a s/d 43a)
ENAM TOKOH SUCI YANG BERPENGARUH DALAM PERKEMBANGAN HINDU DI BALI
Agama Hindu di Bali tampak sangat berbeda dengan Hindu di Luar Bali, secara filsafat Hindu di Bali memang tidak berbeda dengan Hindu di luar Bali yaitu mendasarkan diri pada Panca Sraddha:
1. Percaya dengan adanya Tuhan
2. Percaya dengan adanya Ataman/Roh
3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala
4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi
5. Percaya dengan adanya Moksa/Nirvana
Secara ritual yang bisa kita lihat sehari-hari umat Hindu di Bali sungguh sangat unik, siapakah yang berperan dalam keunikan ini? berikut sekelumit penjelasan tentang perkembangan Hindu di Bali, semoga bisa menambah wawasan kita bersama. Dan bisa kita gunakan sebagai dasar panutan dalam melangkah sehingga bisa mewujudkan kedamaian di hati, di dunia dan dimanapun…
ENAM TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN HINDU DI BALI :
1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.
Setelah menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan.
Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.
Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.
Beliau juga mendapat pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan.
Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.
Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.
Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.
Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.
Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian.
Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya.
Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56).
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.
Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur.
Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:

a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel

c. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan.
Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”.
Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :
o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
o Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
o Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.
Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) sebagai Pencipta
Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Pemelihara
Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Pengembali/Pelebur.
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali.
Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”.
Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual.
Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.

Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.
Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.
Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).
Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.
Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa.
Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik.
Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun.
Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.
Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Ditulis dalam Religi
2 Tanggapan to “ENAM TOKOH SUCI YANG BERPENGARUH DALAM PERKEMBANGAN HINDU DI BALI”
1. OM SWASTYASTU
tulisan enam tokoh Hindu tersebut, utamanya menyangkut lahirnya hari – hari suci yang dinyatakan dicetuskan oleh Dang Hyang markandeya, jika mungkin tolong dipetikkan sumbernya karena saya pernah baca agak berbeda dengan yang dimuat dalam babad Bali Dwipa
Suksma OM SHANTIH SHANTIH SHANTIH OM
2. Om Swastyastu,
Pak Gede tulisan ini adalah tutur dari Nabe titiang; Bhagavan Dwija, tulisan lengkapnya bisa juga dilihat di: Dengan Judul: ” HINDU DALAM WACANA BALI CENTRIS”
Om shanti Shanti Shanti Om.




Hari-hari Raya di Bali
Piodalan tiap Wuku
Piodalan tiap Sasih
Tabel rerainan




HARI HARI RAYA DI BALI





Pembagian hari - hari raya di Bali
Petunjuk mengenai hari-hari raya dan saat-saat suci diperoleh dari ajaran Sundari Gama. Dalam ajaran itu disebutkan bahwa Sang Hyang Suksma Litjin memerintahkan kepada para purohita (orang-orang suci) agar mengingatkan para pemegang tampuk kekuasaan, agar ia, dan dengan kuasanya memerintahkan segenap bawahannya, mengadakan yadnya, atau upacara persembahan pada hari-hari dan saat-saat tertentu. Persembahan itu disebut bebantenan atau widhi-widhana, sebagai perwujudan darma dalam menjaga kesejahteraan dunia dan kebahagiaan segenap makhluk.

Hari-hari yang dicatat sebagai ketetapan itu diyakini telah disucikan oleh Ida Sang Hyang Widhi sebagai waktu-waktu yang tepat untuk menjaga hubungan ciptaan dan sang maha penciptanya. Penyampaian cinta kasih beliau yang selalu melimpahkan sinar terang kepada akal budi manusia, anugerah yang tak terbatas bagi kehidupan serta bimbingan yang abadi kepada kelestarian ciptaannya. Melalui yadnya, segenap manusia pada saat itu hendaknya menyampaikan rasa sukur dan hormat melalui pengurbanan dan persembahan yang terbaik kepada beliau yang maha suci.
Untuk memudahkan penjelasan saat-saat suci atau rerahinan itu, kita kelompokkan keseluruhannya dalam cara sebagai berikut:
1 Yadnya yang dilakukan tiap hari.

2 Yadnya yang dilakukan pada Triwara dengan Pancawara tertentu.

3 Yadnya yang dilakukan pada Saptawara dan Pancawara tertentu.

4 Yadnya yang dilakukan pada Wuku tertentu. Secara keseluruhan, lihat tabel.

5 Yadnya yang dilakukan pada sasih tertentu antara lain Nyepi dan Siwa Ratri.



Hari raya yang dirayakan bersama oleh seluruh umat disebut Rerahinan Gumi. Masih banyak lagi hari raya yang dirayakan hanya oleh beberapa keluarga pada hari-hari tertentu untuk di pura dan parhyangan masing-masing.
Hakikat dari perayaan hari-hari raya itu, suasana dan kesungguhan hati masing-masing umat adalah unsur yang paling menentukan. Kesungguhan itu dilihat dari pendalaman batin umat dalam menghayati arti dari masing-masing hari raya. Tanpa pengertian yang mendalam dari maknanya, mustahil tujuan perayaan saat-saat suci itu tercapai. Menjadikannya tidak lebih dari sekedar keramaian yang tanpa makna.
Pada suasana bagaimanapun, perayaan rerainan atau hari raya ini harus berlangsung. Demikianlah hendaknya perwujudan sembah bakti sekala kita kepada Hyang Widhi, lepas dari segala kekurangan dan kelebihan umatNya, yadnya harus tetap ditaati.

sumber



Puri di Bali
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Puri di pulau Bali adalah nama sebutan untuk tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka yang masih merupakan keluarga dekat dari raja-raja Bali. Berdasarkan sistem pembagian triwangsa atau kasta, maka puri ditempati oleh bangsawan berwangsa ksatria.
Puri-puri di Bali dipimpin oleh seorang keturunan raja, yang umumnya dipilih oleh lembaga kekerabatan puri. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus pemimpin lembaga kekerabatan puri, biasanya disebut sebagai Penglingsir atau Pemucuk. Para keturunan raja tersebut dapat dikenali melalui gelar yang ada pada nama mereka, misalnya Ida I Gusti, Cokorda, Anak Agung Ngurah, Dewa Agung, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain untuk pria; serta Cokorda Istri, Anak Agung Istri, Dewa Ayu, dan lain-lain untuk wanita.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Etimologi
2 Daerah dan kekuasaan
3 Daftar puri dan penglingsirnya
3.1 Denpasar & Badung
3.2 Mengwi
3.3 Tabanan
3.4 Gianyar
3.5 Karangasem
3.6 Klungkung
3.7 Buleleng
3.8 Bangli
3.9 Jembrana
4 Pranala luar
5 Catatan kaki

[sunting] Etimologi
Secara etimologis, kata puri sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat pemujaan tuhan; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan. Saat ini kata puri dapat dipadankan dengan kata keraton atau kata pura dalam Bahasa Jawa, misalkan Pura Mangkunagaran. Beberapa puri dahulunya juga berperan sebagai benteng strategis untuk pertahanan kerajaan.
[sunting] Daerah dan kekuasaan
Daerah atau wilayah kekuasaan puri-puri di Bali zaman dahulu, tidak berbeda jauh dengan wilayah administratif pemerintahan kabupaten dan kota di Provinsi Bali. Setelah Kerajaan Gelgel mulai terpecah pada pertengahan abad ke-18, terdapat beberapa kerajaan, yaitu Badung (termasuk Denpasar), Mengwi, Tabanan, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Buleleng, Bangli dan Jembrana.[1][2] Persaingan antardinasti dan antaranggota dinasti pada akhirnya menyebabkan Belanda dapat menguasai Bali dengan tuntas pada awal abad ke-20.[3]
Setelah masa kolonial Belanda, Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia, kekuasaan puri berubah menjadi lebih bersifat simbolis. Peranan berbagai puri di Bali umumnya masih tinggi sebagai panutan terhadap berbagai pelaksanaan aktivitas adat dan ritual Agama Hindu Dharma oleh masyarakat banyak.
[sunting] Daftar puri dan penglingsirnya
[sunting] Denpasar & Badung
Puri Agung Denpasar (Puri Satria) : Ida Cokorda Ngurah Mayun Samirana (Ida Cokorda Denpasar IX)
Puri Agung Pemecutan : AA Ngurah Manik Parasara (Ida Cokorde Pemecutan XI)
Puri Agung Kesiman : AA Ngr Gede Kusuma Wardhana (Cokorda Kesiman)
Puri Jero Kuta : AA Ngr Djaka Pratiknya
Puri Peguyangan : AA Ngr Gede Widiada
Puri Gerenceng : Prof dr I Gusti Ngoerah Gde Ngoerah, Sp.S
Puri Sibang (Abiansemal) : AA Ngr Oka Suralaga
Jero Tingas (Mambal) : Anak Agung Ngurah Bagus Suyasa
Puri Ngurah Sibangkaja : I Gst Ngr Ag Watusila
[sunting] Mengwi
Puri Agung Mengwi : Anak Agung Gede Agung
Puri Kapal Muncan : Anak Agung Gde Muncana
Puri Kapal Kaleran : Anak Agung Ngurah Agung
Puri Mayun
Puri Anyar
Puri Kamasan (Sibang),(Sempidi)
Puri Banyuning (Bongkasa)
Jero Tangeb : IG Ngurah Bgs Sandjaya
Jero Selat (Jero Nyelati) : I Gusti Gede Raka
Jero Gelgel : I Gusti Ngurah Made Suardita (Agung Leo)
Jero Gede Dalung Saren Tengah: I Gusti Ngurah Agung Bagus Suryadana (pengelingsir), I Gusti Ngurah Agung Alit Sastrawan (pengelingsir)
Jero Kajanan Dalung
Jero Gede Dalung Saren Kelod
Jero Gede Dalung Saren Kangin
Jero Gede Padangluih
[sunting] Tabanan
Puri Agung Tabanan : Ratu Singasana Tabanan (Putung ...) keturunannya ada di Puri Dangin Tabanan (yang tersebar di tiga tempat, yaitu Puri Dangin Tabanan ring Jegu, Puri Dangin Tabanan ring Tabanan, dan Puri Dangin Tabanan ring Abian Kapas Denpasar.)
Puri Kaleran Tabanan : I Gusti Ngurah Gede Agung
Puri Anom Tabanan : I Gusti Ngurah Alit Sanjaya
Puri Pemecutan Tabanan : I Gusti Ngurah Rupawan (Cokorde Anglurah Tabanan) keturunan ke-3 dari Cokorde yang diangkat oleh Belanda
Puri Dangin Tabanan : I Gusti Ngurah Gede (yang tersebar di tiga tempat, yaitu Puri Dangin Tabanan ring Jegu, Puri Dangin Tabanan ring Tabanan, dan Puri Dangin Tabanan ring Abian Kapas Denpasar.)
Puri Anyar Tabanan : I Gusti Ngurah Bagus
Puri Denpasar Tabanan : I Gusti Ngurah Raka
Puri Gede Marga : I Gusti Ngurah
Puri Taman Marga : I Gusti Ngurah
Puri Gede Perean : I Gusti Ngurah
Puri Blayu Marga : I Gusti Ngurah
Puri Gde Kerambitan : AA Ngr Anom Mayun
Puri Anyar Kerambitan : AA Ngr Rai Giri Gunadi
Puri Kediri : I Gusti Ngurah Oka
Jero Kukuh : I Gusti Gede Sudjaja
Jero Aseman Kerambitan: Anak Agung Mahendra
Jero Penida Penyalin
Jero Subamya
[sunting] Gianyar
Puri Agung Payangan : Tjokorda Gde Agung
Puri Gianyar : AA Gede Agung II
Puri Agung Ubud (Puri Saren) : Cokorda Gde Agung Suyasa
Puri Peliatan : Cokorda Gde Putra Nindia
Puri Keramas
Puri Medahan
Puri Agung Sukawati : AA Gede Oka
Puri Agung Singapadu : Cokorda Gde Putra Kaya Trisna
Puri Agung Blahbatuh : I Gusti Ngurah Djelantik
Puri Agung TegalTamu : I Gusti Ngurah Pertu Agung
Puri Agung Negara : Tjokorda Gde Atmaja
Puri Kaleran Negara : AA Gede Putra Negara
Puri Agung Lebih
Puri Kedisan Tegallalang : I Gusti Ngurah Pulaki
[sunting] Karangasem
Puri Agung Karangasem : AA Gde Putra Agung
Puri Kelodan : I Gusti Agung Putu Agung
Puri Kaleran : AA Arya Mataram
Puri Kanginan
Puri Kauhan : Ratu Agung Krishna Bagoes Oka (??????)
Puri Batu Aya : Ida I Dewa Gede Batuaya
Puri Celuk Negara
Puri Kaler Kauh : dr I Gusti Bagus Ngurah
[sunting] Klungkung
Puri Agung Klungkung : Cokorda Rai
Puri Anyar Klungkung : Anak Agung Gde Indra Putra Dalem
[sunting] Buleleng
Puri Agung Buleleng : AA Bagus Sujatra
Puri Anyar Sukasada : I Gusti Ngurah Gorda
Puri Kanginan Singaraja : AA Ngr Parwatha Pandji
Puri Bangkang : AA Sugandi
Puri Tukad Mungga : AA Ngr Mudipta
Puri Ayodya (Kalibukbuk) : AA Ngr Sentanu
Puri Blahbatuh : AA Ngr Jlantik
Puri Agung Padangbulia :
[sunting] Bangli
Puri Bangli : AA Ngurah Agung
[sunting] Jembrana
Puri Bakungan (1400-1450M) : Ki Ageng Malele Cengkrong bergelar Sri Ageng Malele Cengkrong (I Gusti Ngurah Bakungan ( putung...)) parhyangan suci di Pura Candi Bakungan di sungsun oleh keluarga Puri Pancoran
Puri Pacangakan (1400-1450M) : Ki Ageng Mekel Bang bergelar I Gusti Ngurah Pacangakan (putung..) parhyangan suci di Pura Ageng Pacangakan di sungsun oleh keluarga Puri Pancoran
Puri Pancoran (1470M) : Ki Ageng Malelo Bang Bergelar I Gusti Ngurah Pancoran
Puri Agung Negara : Anak Agung Gde Agung Sutedja
Puri Jero Pasekan :
[sunting] Pranala luar
Old Site Map of Puri Denpasar
[sunting] Catatan kaki
1. ^ Dari kerajaan-kerajaan ini yang tidak memiliki kabupaten hanyalah Mengwi saja yang sekarang sebagian besar menjadi wilayah kabupaten Badung dan Tabanan.
2. ^ Puri Cakranegara yang bercorak Bali juga terdapat di Pulau Lombok, yang dahulu pernah menjadi bawahan Kerajaan Karangasem. Penglingsir puri tersebut adalah AA Biarsah Haruju Amlanegantun.
3. ^ Peta rekonstruksi Puri Denpasar tahun 1906 dapat dilihat di www.saptaneka.net

2 komentar:

Eka Wira Dharmawan mengatakan...

mantap penjelasannya pak..

SabdaBali mengatakan...

Bapak Ketut,

Semoga dalam keadaan sehat. Jika di perbolehkan saya ingin menambah sedikit informasi tentang Penglingsir di Puri Keramas dan Puri Medahan.

Puri Keramas: I Gusti Agung Made Rai (beliau juga Pemangku di Pura Dalem Keramas dan adik dari Kakek saya sendiri)

Puri Medahan: I Gusti Agung Made Surya Kusuma (beliau juga sekarang seorang Pemangku dan ayah kandung saya)

Terima kasih. Senang membaca blog yg berisikan sejarah dan asal usul kita dulu.


Apsari Dewi

LUKLUK