Br Delod Pempatan Lukluk

Foto saya
Badung, Bali, Indonesia
YOGA COMPUTER SERVICE SOFTWARE $ HARDWARE ALAMAT JL RAYA LUKLUK BR DELOD PEMPATAN LUKLUK GG PAHLAWAN NO 7 TLP (0361) 7955357

Senin, 28 September 2009

KAWITAN

PURA Masceti berstatus Pura Kahyangan Jagat
PURA Masceti berstatus Pura Kahyangan Jagat, kerap didatangi oleh umat dari sejebag jagat Bali. Pura Masceti yang terletak di tepian pantai Desa Medahan-Keramas, Blahbatuh, Gianyar, kerap menjadi tempat mencari keheningan jiwa. Pura suci yang berusia tua yang juga merupakan kisah tapak tilas Dhang Hyang Dwijendra ini ramai dikunjungi di saat hari suci umat Hindu. Setiap hari Purnama, Tilem, Siwaratri bahkan saat diselenggarakan piodalan pada Anggarkasih, Medangsia jejalan umat selalu memadati pura untuk melakukan persembahyangan.
Menurut Jero Mangku Pura Masceti, kata ”Masceti” terdiri atas dua suku kata, yakni Mas (sinar) dan Ceti (keluar masuk). Namun soal keberadaan Pura Masceti ini tidak satu pun orang mengetahui kapan pertama kali Pura Masceti dibangun. Meski tak ada prasasti, sebagai bukti tertulis akan keberadaan pura ini ada bukti purana yang sumbernya dari kumpulan data dari berbagai prasasti yang menyebutkan keberadaan pura tersebut.
Pura Masceti yang menjadi Pura Kahyangan Jagat ini juga berstatus sebagai Pura Swagina (profesi). Sebagai Pura Swagina, Pura Masceti bertalian erat dengan fungsi pura sebagai para petani untuk memohon keselamatan lahan pertanian mereka dari segala merana (penyakit).
Jero Mangku Pura Masceti mengatakan, keberadaan Pura Masceti berdasarkan Dwijendra Tatwa adalah kisah perjalanan suci tokoh rohaniwan dari tanah Jawa. Di sini disebutkan bahwa kisah perjalanan Danghyang Dwijendra, pada zaman Kerajaan Dalem Warturengong sekitar abad XIII.
Saat itu Dhanghyang Dwijendra meninggalkan Desa Mas, melewati Banjar Rangkan, Desa Guwang, Sukawati, menuju pantai selatan ke timur ke daerah Lebih. Saat melewati Pura Masceti, di tengah sejuknya angin pantai, Dhanghyang Dwijendra merasakan dan mencium bau harum semerbak yang menandakan adanya Dewa yang turun. Sebuah cahaya tampak terlihat dari dalam Pura Masceti.
Dhanghyang Dwijendra pun masuk ke dalam pura yang pada waktu itu pelinggihnya hanya berupa bebaturan (bebatuan). Di sana beliau serta merta melakukan persembahyangan, menyembah Tuhan. Namun pada saat itu tidak diperkenankan oleh Ida Batara Masceti, mengingat Dhanghyang Dwijendra sebentar lagi melakukan moksa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pura Masceti ini telah ada sebelum Dhanghyang Dwijendra datang ke Bali.
Kisah keberadaan Pura Masceti lebih jelasnya juga terdapat dalam Raja Purana I Gusti Agung Maruti, yang ada di Puri Keramas. Dalam naskah babad nomor 80.ab.81a. yang mengisahkan keberadaan I Gusti Agung Maruti saat menjadi raja selama 26 tahun di Kerajaan Gelgel, Klungkung dan juga dalam kisah keturunannya yang tersebar di jagat Bali, di antaranya di Desa Keramas, Gianyar.
Pada tahun 1672 (1750 M), I Gusti Agung Maruti bersamadi pada suatu malam di Cawu Rangkan (Jimbaran). Saat melihat bersamadi, dilihatlah ada sinar api, seperti warna emas di arah timur. Melihat keajaiban tersebut, berangkatlah I Gusti Agung Maruti mencari sinar tersebut hingga akhirnya tiba di tempat yang mengeluarkan cahaya emas itu. Baliau kemudian menemukan tempat suci yang terbuat dari bebaturan, berlokasi di dalam hutan dekat pantai.
Tempat suci bebaturan yang ditemukan tersebut adalah Pura Masceti (sekarang). Setelah mengaturkan persembahyangan dengan pasukannya, I Gusti Agung Maruti kemudian melanjutkan perjalanan menuju suatu wilayah yang kini dinamakan Desa Keramas. Sejak pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Keramas, bebaturan tersebut kemudian dilakukan penataan sekaligus perbaikan bangunan suci.
Dari berbagai versi cerita mengenai keberadaan Pura Masceti, mana yang benar belum jelas. Jero Mangku Pura Masceti menegaskan bahwa ketenaran Pura Masceti terjadi setelah masa pemerintahan I Gusti Agung Maruti membangun kerajaan di Keramas.
Pura Masceti mempunyai struktur bangunan suci dengan menganut konsep Tri Mandala.
Jero Mangku Pura Masceti menuturkan, pada bagian jeroan (Utama Mandala) di Pura Masceti terdapat beberapa pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Lima merupakan pelinggih Ida Batara Masceti sebagai pelinggih utama. Yang dipuja dalam hal ini adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri. Meru Tumpang Lima ini berdampingan dengan Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara Ulun Suwi, dan bagian selatan merupakan pemujaan Batara Segara, kemudian pelinggih Sedahan Penyarikan, Sedahan Dasar atau Pertiwi.
Pelinggih Pesimpangan Gunung Lebah (Batur) dan Gunung Agung. Kemudian terdapat pula pelinggih Ratu Nglurah Agung, Sedahan, Balai Pasamuan, Balai Pewedaan, Piasan/Panggungan dan Piasan Tiang Sanga.
Di Utama Mandala pura juga pada bagian barat laut yang hanya dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih pesimpangan Batara Pura Gelap yang berada di Pura Besakih. Sebelah timur jeroan yang juga dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih Jero Kelodan istana Batara Ratu Mas Mayun. Serta taman yang terdapat Padmasana dan Sedahan.
Bagian Madya Mandala terdapat sebuah pohon besar yang di bawahnya terdapat pelinggih Batara Ratu Lingsir Baten Ketapang. Selain itu juga terdapat beberapa sedahan, dan wantilan sebagai tempat masanekan (istirahat) para pemedek yang tangkil ke pura. Sedangkan pada bagian jaba sisi terdapat Sedahan dan Balai Kulkul.
Upacara Peneduh
Dalam melaksanakan upacara piodalan di Pura Masceti yang menjadi penanggung jawab penuh adalah warga subak yang menjadi pengemong sekaligus pengempon pura yang berjumlah sebanyak 20 subak. Mereka berasal dari sekitar wilayah Desa Medahan, Keramas, dan Tedung. Meskipun penanggung jawab piodalan di Pura Masceti sebanyak 20 subak, setiap kali menggelar upacara yang wajib ngayah hanya klian (ketua) dan wakil klian bersama istrinya dibantu oleh warga lain yang menjadi pengayah.
Mempersiapkan piodalan tampak dilakukan sekitar 10 hari sebelum diselenggarakan piodalan. Termasuk, Selasa (5/2) lalu saat Bali Post, banyak pangayah yang mempersiapkan sarana piodalan di pura tersebut. Selain upacara piodalan, di Pura Masceti juga diselenggarakan upacara peneduh guna memelihara tanaman padi agar tumbuh subur, terhindar dari berbagai serangan hama dan penyakit. ‘Para petani bahkan hingga kini sama sekali tidak berani mengabaikan pelaksanaan upacara peneduh tersebut,” jelas Jero Mangku.
Sebagai rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah dilimpahkan Ida Batara Masceti, setiap Anggarkasih Kulantir dilaksanakan upacara Ngusaba Tipat. Selain itu juga digelar upacara ngaturan berem setiap Anggarkasih Julungwangi.
Pura Masceti
Karunia Kemakmuran di Pura Masceti

Liukan ombak pantai yang memecahkan karang menandakan kebesaran Tuhan yang tiada tandingannya. Tiupan angin laut samudera Indonesia ini memecahkan keheningan umat yang dengan khusuk melantunkan doa-doa memohon karunia dari Beliau yang beristina di Pura Masceti. Sebuah pura besar yang berada ditepian utara pantai untuk memuja Bhatara Wisnu dengan saktinya Dewi Sri guna memohon kamakmuran. Selain itu, di Pura Masceti juga sebagai tempat mencari kewisesan (kesaktian) dan ilmu pengobatan bagi para balian.
Pura Masceti merupakan pura berstatus kahyangan jagat, kerap didatangi oleh umat dari sejebag Jagat Bali. Pura Masceti terletak ditepian pantai desa Medahan-Keramas, Blahbatuh, Gianyar, kerap menjadi tempat mencari keheningan jiwa. Pura suci yang berusia tua yang juga merupakan kisah tapak tilas dari Dhang Hyang Dwijendra ini ramai dikunjungi disaat hari suci umat Hindu. Setiap hari Purnama, Telem, Siwaratri bahkan saat diselenggarakan piodalan pada Anggarkasih, Medangsia (6 hari lagi) jejalan manusia selalu memadati Pura untuk melakukan persembahyangan.
Kata Masceti, menurut Jero Mangku Pura Masceti terdiri dari dua kata, yakni Mas (sinar) dan Ceti (keluar masuk). Namun soal keberadaan Pura Masceti ini tidak satupun mengetahui kapan pertama kali Pura Masceti dibangun. Meski tak ada prasasti, sebagai bukti tertulis akan keberadaan pura ini tapi berdasarkan purana yang sumbernya dari kumpulan data dari berbagai prasasti atau bukti-bukti lain yang menyebutkan keberadaan Pura tersebut, Pura Masceti yang menjadi Pura Kahyangan Jagat ini juga berstatus sebagai pura Swagina (profesi). Sebagai Pura Swagina, Pura Masceti bertalian erat dengan fungsi Pura sebagai para petani untuk memohon keselamatan lahan pertanian mereka dari segala merana (penyakit).
Penuturan Jero Mangku Pura Masceti, keberadaan Pura Masceti jika berdasarkan Dwijendra tatwa, yang memuat kisah dan perjalanan suci tokoh rohaniawan dari tanah Jawa ini menyebutkan bahwa kisah perjalanan Danghyang Dwijendra, pada zaman Kerajaan Dalem Warturengong, abad XIII, saat itu Dhanghyang Dwijendra meninggalkan desa Mas, melewati banjar rangkan, desa guwang, Sukawati, menuju pantai selatan ketimur ke daerah lebih. Saat melewati Pura Masceti, ditengah sejuknya angin pantai Dhanghyang Dwijendra merasakan dan mencium bau harum, semerbak yang menandakan adanya Dewa yang Turun. Sebuah cahaya tampak terlihat dari dalam Pura Masceti. Dhanghyang Dwijendra pun masuk ke dalam Pura yang pada waktu itu, pelinggihnya hanya berupa bebaturan serta merta melakukan persembahyangan, menyembah Tuhan. Namun hal tersebut tidak diperkenankan oleh Ida Bhatara Masceti, mengingat Dhanghyang Dwijendra sebentar lagi melakukan moksa, jelasnya mengutip cerita para laluhurnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pura Masceti ini telah ada sebelum Dhanghyang Dwijendra datang ke Bali.
Kisah keberadaan Pura Masceti, lebih jelasnya juga terdapat dalam Raja Purana I. Gusti Agung Maruti, yang ada di Puri Keramas. Dalam naskah babad nomor 80.ab.81a. yang mengisahkan keberadaan I. Gusti Agung Maruti saat menjadi raja selama 26 tahun di kerajaan Gelgel, Klungkung dan juga dalam kisah keturunannya yang tersebar di jagat Bali, diantaranya di Desa Keraman, Gianyar. Pada tahun 1672 (1750 M), I Gusti Agung Maruti karo, bersamadi pada suatu malam di Cawu Rangkan (Jimbaran). Saat melihat bersamadi, dilihatlah ada sinar api, seperti warna emas di arah timur. Melihat keajaiban tersebut, berangkatlah I Gusti Agung Maruti mencari sinar tersebut hingga akhirnya tiba ditempat yang mengeluarkan cahaya emas itu. Baliau kemudian menemukan tempat suci yang terbuat dari bebaturan, berlokasi didalam hutan dekat pantai. Tempat suci bebaturan yang ditemukan tersebut adalah pura Masceti. Setelah menghaturkan persembahyangan dengan pasukannya, I Gusti Agung Maruti kemudian melanjutkan perjalanan menuju suatu satu wilayah yang kini dinamakan Desa Keramas. Sejak pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Keramas, bebaturan tersebut kemudian dilakukan penataan sekaligus perbaikan bangunan suci.
Dari berbagai versi cerita mengenai keberadaan Pura Masceti, mana yang benar belum jelas. Jero Mangku Pura Masceti menegaskan bahwa ketenaran Pura Masceti terjadi setelah masa pemerintahan I Gusti Agung Maruti membangun kerajaan di Keramas.
Pura Masceti mempunyai struktur bangunan suci dengan menganut konsep Tri Mandala. Jero Mangku Pura Masceti menuturkan, pada bagian Jeroan (Utama mandala) di Pura Masceti terdapat beberapa pelinggih. Diantaranya, Meru Tumpang Lima merupakan pelinggih Ida Bhatara Masceti sebagai pelinggih utama. Yang dipuja dalam hal ini adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri. Meru Tumpang Lima ini berdampingan dengan Meru tumpang tiga pelinggih Bhatara Ulun Suwi, dan bagian selatan merupakan pemujaan Bhatara Segara, kemudian pelinggih Sedahan Penyarikan, Sedahan dasar/pertiwi.
Pelinggih Pesimpangan Gunung Lebah (batur) dan gunung Agung. Kemudian terdapat pula pelinggih ratu Nglurah Agung, Sedahan, balai Pasamuan, Balai pewedaan, Piasan/panggungan dan piasan tiang Sanga.
Diutama mandala Pura juga, pada bagian barat laut yang hanya dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih pesimpangan Bhatara Pura Gelap yang berada di Pura Besakih. Sebelah timur jeroan yang juga dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih Jero Kelodan istana Bhatara Ratu Mas Mayun. Serta taman yang terdapat Padmasana dan Sedahan.
Bagian Madya Mandala terdapat sebuah pohon besar yang dibawahnya terdapat pelinggih Bhatara Ratu Lingsir Baten Ketapang. Selain itu juga terdapat beberapa sedahan, dan wantilan sebagai tempat mesanekan (istirahat) para pemedek yang tangkil ke Pura. Sedangkan pada bagian jaba sisi terdapat Sedahan dan Balai Kulkul.
Upacara peneduh
Dalam melaksanakan upacara piodalan di Pura Masceti yang menjadi penanggungjawab penuh adalah warga subak yang menjadi pengemong sekaligus pengempon Pura yang berjumlah sebanyak 20 subak. Mereka berasal dari sekitar wilayah desa Medahan, Keramas, dan Tedung. Meskipun penanggung jawab piodalan di Pura Masceti sebanyak 20 subak, setiap kali menggelar upacara yang wajib ngayah hanya klian (ketua) dan wakil klian bersama istrinya dibantu oleh warga lain yang menjadi pengayah.
Mempersiapkan piodalan tampak dilakukan sekitar 10 hari sebelum diselenggarakan piodalan. Termasuk, Selasa (5/2) kemarin saat Bali Post menurunkan tulisan ini, banyak pengayah yang mempersiapkan sarana piodalan di Pura tersebut.
Selain upacara piodalan, di Pura Masceti juga diselenggarakan upacara peneduh guna memelihara tanaman padi agar tumbuh subur, terhindar dari berbagai serangan hama dan penyakit. Para petani bahkan hingga kini sama sekali tidak berani mengabaikan pelaksanaan upacara peneduh tersebut, jelas Jero Mangku.
Sebagai rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah dilimpahkan Ida Bhatara Masceti, maka setiap Anggarkasih Kulantir dilaksanakan upacara ngusaba Tipat. Selain itu juga digelar upacara ngaturan Berem setiap anggarkasih Julung Wangi. (agung dharmada)
Diposkan oleh G-comunity di 04:11 0 komentar
Pura Selukat
Pura Selukat
Melebur Mala, Sucikan diri

Ketenangan dan kedamaian hati, pikiran serta jiwa adalah yang paling dicari oleh umat manusia dijagat raya ini. Bahkan kedua hal tersebut diatas, kini sampai dicari oleh orang hingga rela mengeluarkan biaya besar untuk melakukan perjalanan tirta yatra ke negeri seberang. Namun, semua itu kembali kepada rasa, yang tak terlepas dari keyakinan dari seorang untuk melebur segala mala dan menyucikan diri untuk memperoleh ketenangan dan kedamaian dalam hidup.
Seperti halnya dengan Pura Selukat. Ketenangan dan kedamaian mengalir bagi umat Hindu yang datang ke Pura tersebut untuk melukat segala mala dan menyucikan diri. Air kehidupan begitu mengalir secara alami dari dalam bumi ke permukaan. Mereka datang dengan ketulusan hati ke pura selukat, mencari ketenangan hati dan pikiran serta kedamaian jiwa. Mereka datang mencakupkan tangan serta melukat di Pura Selukat untuk menyucikan diri dari segala mala. Tidak hanya terbatas pada kelas social, mereka yang datang melukat di Pura selukat juga mereka yang atas petunjuk untuk bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya. Seorang rohaniawan maupun pendeta juga tak luput untuk melukat di Pura petirtaan yang ada di alur sungai pekerisan. Orang-orang yang belajar ilmu kebatinan, bahkan para pejabat – pejabat daerah dan mantan pejabat Negara kerap kali datang untuk melukat dan memohon anugrah kepada Ida Bharata Selukat. “Mereka yang datang ke Pura Selukat mempunyai tujuan masing-masing dengan cara sembahyang serta melukat,” ungkap Mangku Gede Masceti yang ngayah di Pura selukat.
Meski bangunan pura tidak begitu luas, namun tak memperkecil makna dari kebesaran Ida Hyang Widi Wasa dalam berbagai manifestasinya sebagai trimurti.
Pura Selukat berada di areal persawahan subak tuas, desa Keramas, Blahbatuh, Gianyar. Luasnya kira-kira sekitar 8 are terbagi dalam tri mandala, yakni jaba sisi, Jaba Tengah dan Jeroan. Pada Utama Mandala (jeroan) terdapat bangunan padmasana sebagai istana Hyang Widi, gedong penyimpenan dan sepasang arca pendeta. Dibagian jaba tengah (madya mandala) hanya terdapat sebuah gedong yang didalamnya terdapat pancoran yang merupakan saluran dari sumber mata air di Pura Selukat. Dalam gedong petirtaan tersebut sumber air petirtaan terdiri dari tiga sumber, dari barat, utara dan timur. Sedangkan dibagian jaba sisi terdapat bangunan pesandekan (peristirahatan) serta dua pancoran yang sumber airnya berasal dari dalam gedong untuk melukat warga yang datang ke Pura Selukat untuk melukat.
Kebiasaan warga setepat setiap ingin melukat di Pura selukat tidak serta merta langsung begitu saja masuk ke Jeroan. Meski telah dilengkapi dengan sesaji disertai dengan berbusana adat untuk sembahyang, perjalanan melukat diawali dengan terlebih dahulu membersihkan diri (mandi) ditepian sungai solas sowan, yang berada disebelah timur pura. Usai mandi baru dilakukan pengelukatan oleh pemangku dengan air yang berasal dari dalam gedong untuk selanjutnya dituntut masuk ke jeroan. Ditempat ini, dilakukan persembahyangan memohon untuk dihapuskan segala mala yang ada di dalam dirinya.
Kata selukat, menurut salah satu tokoh Puri Keramas, yang juga sebagai penulis, I Gusti Agung Wiyat S. Ardhi, berasal dari kata Sulukat - Su berarti baik- lukat berarti penyucian- tempat menyucikan diri guna memperoleh kebaikan, kerahayuan. Pura Selukat ini di yakini mampu membersihkan diri seseorang secara niskala, sanggup menghilangkan segala penyakit. Mereka yang datang ke pura selukat adalah mereka yang sedang dirajam penyakit seperti bebai, pikiran yang kalut/kacau, dan sebagainya.
Mangku Gede Masceti, menambahkan keberadaan pura selukat sebagai tempat untuk melukat segala mala, khususnya penyakit tercantum dalam Usada Bebai. Mereka yang terkena penyakit ini menggunakan tirta selukat beserta tirta sudamala yang disertai dengan tirta pendukung lainya yang jumlahnya sebanyak 11 tirta. Warga yang dating untuk melukat di Pura Selukat dalam hal ini tidak ada sesaji khusus. Hanya saja, jika tujuannya sebatas menyucikan diri, memohon keselamatan, cukup membawa banten pejati. Namun, jika pernah sakit atau sedang dalam proses penyembuhan, selain membawa pejati juga ditambah sesaji yang disebut tebasan pelukatan.
Disamping untuk membersihkan diri dari segala mala, Pura Selukat juga menyimpan kekuatan lain. Pura selukat yang kini banyak didatangi oleh warga dari luar Gianyar ini, juga mampu memberikan anugrah taksu pada keahlian seseorang. Kebanyakan, taksu mengalir dari Pura Selukat merupakan taksu seniman. Namun hal tersebut tidak terlepas dari sebagaimana yang diinginkan oleh warga yang datang ke pura selukat. Dalam cermatan Agung Wiyat, S., keberadan Pura Selukat dalam hal ini seakan menjadi tempat persembahyangan wajib bagi para seniman yang tumbuh di daerah setempat. Keterikatan para penggiat seni dengan pura yang berlokasi di tepian sungai solas sowan ini bukan semata-mata dikarenakan lokasi pura yang berada dalam satu desa. Para seniman yang ada sangat percaya Ida Bhatara yang beristana di Pura Selukat mampu memberikan anugrah taksu sehingga kesenian yang digeluti menjadi hidup, bertenaga dan berkharisma. Sehingga dari desa ini menetas puluhan penggelut seni teater bali (arja), seperti I Monjong yang namanya tentu kini masih dikenang penggemar arja di Bali. Mereka yang sebelum membangun kelompok kesenian, biasanya warga tangkil ke Pura Selukat, seakan meminta petunjuk. Setelah terbentuk, mereka kembali lagi ke pura untuk menyatakan permakluman serta kesungguhan hati. Setelah mendapatkan penganugrahan, para seniman ini biasanya juga ngadegang, melakukan pemujaan khusus kehadapan Ida Bhatara Selukat dirumahnya masing-masing. Dari sana nantinya mereka akan memohon ijin kepada beliau sebelum akhirnya berangkat pentas. Selain seniman di Keramas, banyak pula seniman diluar desa bahkan Gianyar yang datang untuk memohon taksu di Pura Selukat. Termasuk para pejabat – pejabat daerah. Seperti halnya beberapa waktu lalu, salah satu kandidat calin Bupati maupun Gubernur mendatangi Pura Selukat memohon penyucian diri dan anugrah.
Keberadaan Pura Selukat dalam angka tahun sama sekali tidak diketahui. Dari berbagai sumber menyebutkan, adanya nama pura selukat ini selain terdapat dalam Usada bebai, juga terdapat dalam Kesuma dewa dan Pura Keramas. Dalam Kesuma dewa dimana disebutkan dalam kaitannya Ida Bhatara Sakti Gunung Lebah Gunung Agung dalam hal memijilkan tirta terebesan danau disebutkan tirta Telaga waja, Tirta Selukat dan Tirta yang ada ditengah segara. Disana hanya disinggung kalimat selukat sedikit, katanya.
Namun dalam purana Keramas disebutkan bahwa Pura Selukat dikenal dengan sebagai sumber air kehidupan. Pura ini diperkirakan ditemukan hampir bersamaan dengan Pura Masceti, oleh I Gusti Agung Maruti. Saat meninggalkan Cau Rangkan (Jimbaran), menuju arah timur laut yang diiringi 1.100 pasukan tiba disuatu tempat dan menemukan bebaturan, berlokasi didalam hutan, dekat dengan pantai yang kini dinamakan Pura Masceti. Setelah menghaturkan bhakti kepada Ida bhatara yang berstana di tempat suci tesebut, beliau yang mendapatkan petunjuk kemudian melanjutkan perjalanan menelusuri hutan yang lebat ke arah barat laut. Dalam perjalanan, kawasan perbukitan di pinggir sungai pekerisan ditemukan sumber air. Air ini kemudian dipergunakan sebagai sarana membersihkan diri beserta dengan iringan pasukannya. Usai mesucian, beliau beserta dengan iringan pasukannya menyusuri tepian sungai pekerisan. Ternyata terdapat 10 sumber mata air lainya ditemukan sebelum akhirnya I Gusti Agung Maruti sampai disebuah desa yang kini disebut Desa Keramas.
Sejak ditemukannya sumber mata air tersebut, kini warga di desa tersebut banyak memanfaatkan sumber air Selukat untuk keperluan penyucian diri, mengheningkan pikiran. Lambat laun, keberadan Pura pancoran selukat –sebut orang disana- kini banyak didatangi oleh orang-orang dari Tabanan, Denpasar, Bangli dan sejumlah daerah lainya yang ada di Bali. Ketenaran Pura semakin bertambah ketika dibuka Jalan IB Mantra. Mereka yang ingin tangkil dari luar daerah lebih gampang mencari air kehidupan untuk ketengan dan kedamaian hati, pikiran serta jiwa, dan anugrah taksu dalam kehidupan

BABAD BALI

Babad Kutawaringin (basis data)
Beliau adalah utusan Maha Patih Gajahmada, yang ditugaskan mengamankan daerah Gelgel. Di bawah pemerintahan Dalem Ketut Kepakisan di Samprangan, beliau adalah wakil dari Patih Agung Arya Kresna Kepakisan. Tahun 1271-1349. Beliau menetap di Toya Anyar (Tianyar), mempertahankan wilayah timur Gunung Agung. Berikut adalah lelintihan keturunan beliau yang dihimpun dari para pratisentananya.

Babad Sri Nararya Kresna Kepakisan (basis data)
Pada tahun 1357 Arya Kresna Kepakisan dikirim ke Bali oleh Maha Patih Gajahmada memimpin pasukan bantuan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan Samprangan, mendampingi Sri Aji Kresna Kepakisan, raja Samprangan I.

Babad Satria Kelating (basis data)
Ini adalah lelintihan dari Sri Aji Kresna Kepakisan, raja Samprangan I.

Babad Buleleng (basis data)
Berikut adalah lelintihan dari Ki Barak Panji (Ki Gusti Panji) sebagai yang dapat disarikan dari Lontar Babad Buleleng.

Babad Pasek (basis data)
Lelintihan ini berkawitan Mpu Ketek, berikut disajikan silsilah yang berhasil disarikan dari Buku Babad Pasek.

Babad Arya Kresna Kepakisan Versi Dokbud Bali (basis data)
Arya Kapakisan adalah sosok yang keharuman namanya dapat kami tampilkan dalam bentuk babad dan silsilah keluarga besar beliau, kami rangkum dari berbagai sumber baik yang telah dipublikasikan maupun kiriman pribadi para pemerhati. Kami masih mengharap masukan anda untuk melengkapi keterangan tentang beliau agar dapat lebih dikenal secara luas.

Babad Buleleng Versi Dokbud (basis data)
Silsilah ini berkawitan seorang ibu bernama Si Luh Pasek Panji, disarikan dari Lontar Babad Buleleng untuk melengkapi kasanah babad Bali kita. Mohon masukan dan tambahan informasi dari para pratisentana.

Babad Jawa Versi Mangkunegaran (basis data)
Juga sebagai pelengkap, karena silsilah ini sedikit banyak juga bersinggungan dan menjadi akar dari berbagai babad di Bali. Dikumpulkan dan disarikan dari berbagai sumber di Keraton Mangkunegaran, Surakarta.

Babad Arya Gajah Para (essay)
Pasukan Majapahit memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga, diutuslah Sirarya Gajah Para dan Sirarya Getas. Akhirnya kedua Arya tersebut tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, dan menurunkan beberapa keturunan. Berikut kisahnya.

Babad Buleleng (essay)
Keesokannya, ternyata Ki Barak Panji tersurat kapur, di sanalah Sri Aji Dalem Sagening percaya akan kata-katanya Ki Gusti Ngurah Jarantik, bahwa benar ubun-ubun anak itu keluar sinar, hati beliau menjadi murung, hati beliau Dalem sangat kasih sayang, akan tetapi ada yang ditakutkan dalam hati, mungkin Ki Barak Panji, nantinya akan mengalahkan putranya yang diharapkan akan menggantikannya menjadi raja.

Babad Dalem Batu Kuub (essay)
Sanghyang Pasupati beryoga di Gunung Raja. Yoganya sangat mantap, lalu dilemparkan dan jatuh di sungai, menimpa batu. Maka timbul lah gempa bumi, angin topan, guntur dan halilintar. Kemudian muncul lah bayi dari batu itu, rupanya hitam. Ada pula bayi muncul dari buih, rupanya putih. Sejak itu sungai itu dinamakan sungai Lipak.

Babad Ki Tambyak (essay)
Ki Tambyak adalah putra dari Begawan Maya Cakru, semenjak lahir ia ditinggal oleh orang tuanya, akhirnya ia dijadikan anak angkat oleh Kebayan Panarajon. Sebagai anak angkat yang dipungut sewaktu masih bayi, kemudian tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan berilmu sehingga disegani masyarakat lingkungannya. dalam hal ini bukan saja oleh masyarakat lingkungannya, bahkan raja Bedahulu pun mengangkatnya sebagai seorang patih.

Babad Manik Angkeran (essay)
Ida Bang Manik Angkeran adalah putra dari Dang Hyang Siddhimantra. Berikut kisah beliau, diambil dari sebuah terbitan untuk para pratisentananya.


SILSILAH KITA
Konon kita ini dahulu sedikit. Setelah berkembang biak dan beranak-pinak, jadilah kita sebanyak ini. Dalam gegap gempita, sesak sempit ini kadang kita gerah. Beradu keras berebut hak melanjutkan hidup dengan orang lain dalam keseharian kita. Orang lain? Pernahkah terpikir oleh kita, bahwa semua kita ini mungkin masih bersaudara? Coba lihat bahwa dalam deretan silsilah, sebuah keluarga besar dari satu orang kakek hanya tergambar dalam tiga baris saja? Itupun kadang- kadang ada beberapa dari anggotanya yang tidak pernah kita temui. Bagaimana kalau kita punya dua atau tiga puluh baris, atau bahkan lebih? Bisakah kita bayangkan berapa banyaknya yang kita tidak kenali dibandingkan dengan yang kita kenali sebagai saudara?
Kenapa tidak kita himpun silsilah kita sekarang? Kirimkan ke babadbali.com, saling melengkapi, saling kait dan jadilah sebuah keluarga besar. Jangan tunggu sampai terlalu lengkap atau jauh menjulang ke leluhur kawitan. Mungkin dalam kompilasi babadbali.com justeru akan kita temui itu tanpa bersusah payah. Masih banyak ruangan data-base tersedia untuk menampung semuanya.
"How nice it is to be in a place where every body knows our name" (Cheers - TV Serial, theme song). Betapa indahnya hidup berdampingan dengan sesama saudara dari sebuah keluarga besar. Yang beruntung membela yang kekurangan dengan tulus iklas. Perjuangan melawan penjajah sudah lama usai, semangat persatuan kita sudah lama luntur. Dulu kita bersatu padu di pihak yang sama, melawan penindas, memperjuangkan kemerdekaan. Sekarang kita beradu pihak dengan sesama kita melawan krisis ekonomi berkepanjangan, memperjuangkan hak untuk hidup layak. Kawan menjadi lawan, sahabat menjadi penghambat. Bertetangga tanpa saling perduli. Ini harus berakhir.
Rentangkanlah kembali tali persaudaraan, kenali mereka, agungkan hubungan ini dalam kesatuan sembah pada Hyang Widhi. Kita akan menjadi masyarakat terhormat yang anggun dan tahu bagaimana menjaga kehormatan kita semua, demi Beliau.
Mari!
Silsilah Sri Kesari Warmadewa
20:27 | Author: san francisco

OmSwastyastu,

Berdasarkan Lontar Babad Arya yang saya dapat di Gedong Kirtya Singaraja, Silsilah Sri Kesari Warmadewa agak berbeda sedikit dengan penjelasan Prof. Armaya,
sebagai berikut :

Pada abad ke-4 di Campa, Muangthai bertahta Raja Bhadawarman. Beliau diganti oleh anaknya bernama Manorathawarman, selanjutnya Rudrawarman. Anak Rudrawarman bernama Mulawarman merantau, mendirikan kerajaan Kutai. Mulawarman diganti Aswawarman. Anaknya bernama Purnawarman mendirikan kerajaan Taruma Negara.
Anak Purnawarman bernama Mauli Warmadewa mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anak Mauli Warmadewa bernama Sri Kesari Warmadewa pergi ke Bali, pertama-tama
mendirikan Pura Merajan Salonding dan Dalem Puri di Besakih.

Sri Kesari Warmadewa diganti Cabdrabhaya Singha Warmadewa, diganti Wijaya Mahadewi, diganti Udayana Warmadewa, menurunkan dua putra :

1.Airlangga
2.AnakWungsu
Airlangga pergi ke Jawa kemudian menurunkan :
1. Sridewi Kili Endang Suci
2. Sri Jayabaya
3. Sri Jayasabha
4. Sira Arya Buru

Sri Jayabhaya bertahta di Kediri, menurunkan :
1. Sri Aji Dangdang Gendis
2. Sri Siwa Wandira
3. Sri Jaya Kesuma

Sri Jayasabha bertahta di Jenggala, berputra : Sira Aryeng Kediri

Sri Aji Dangdang Gendis menurunkan : Sri Aji Jaya Katong, menjadi leluhur warga Arya Gajah Para, Arya Getas, Arya Kanuruhan, dll.

Sri Siwa Wandira menurunkan Sri Jaya Waringin, menjadi leluhur warga Arya Kubon Tubuh, Arya Parembu, dll.

Sri Jaya Kesuma menurunkan Sri Wira Kusuma, kemudian masuk Islam bergelar Raden Patah

Sira Aryeng Kediri menurunkan Sira Aryeng Kepakisan selanjutnya menurunkan Pangeran Nyuh Aya dan Pangeran Asak. Kedua beliau menjadi leluhur warga Arya
Kepakisan, Arya Dauh Bale Agung, Kiyai nginte, dll.

Om Santih, santih, santih, Om

Lontar Raja Purana




Pustaka leluhur > Halaman 11 - 20 > Halaman 21 - 28




Pengantar dan pembukaan


• Tim penterjemah
• Kata pengantar Kepala Dinas P dan K Prop Dati I Bali, Drs. I Wayan Warna
• Kata sambutan Gubernur Kepala Dati I Bali, Prof I B Mantra.



Halaman 1b


Ini perihal ketentuan dan kewajiban di pura Besakih (Gunung Agung) yang tercantum dalam Piagam Raja (Dalem). Anglurah Kebayan di Besakih dan Sedahan Ler di Selat mempunyai tugas yang sama untuk memelihara dan menegakkan piagam raja ini. Begini disebutkan, persembahan raja berupa tanah sawah untuk laba pura. Tanah itu ada di wilayah desa Tohjiwa terletak di subak Kepasekan, Bugbugan, Lenging Ogang, Lod Umah, Dauh Kutuh, jumlah semuanya berbibit 12 1/2 tenah, untuk Batara Ratu Kidul sepertiga, Batara I Dewa Bukit Pangubengan sepertiga, Batara Dewa Danginkreteg sepertiga, jadi masing-masing pura mendapat sawah berbibit 3 tenah 2 depuk. Lagi sawah untuk laba pura persembahan Dalem ke hadapan Batara di Batumadeg tanah sawah di desa Tangkup yang terletak di Jejero berbibit 5 tenah. Lagi laba pura persembahan Dalem ke hadapan Batara Manik Geni berupa tanah sawah di Muncan yang terletak


Halaman 2a


di Teba Kulon, Teba Lor, berbibit 4 tenah. Persembahan Dalem ke hadapan Batara Basukihan, dan Batara Tulus Dewa berupa tanah sawah di desa Klungah terletak di subak Bukihan berbibit 12 tenah yang juga dipergunakan untuk bebakaran. Untuk pesangon juru arah, pengusung Sang Hyang Siyem, Batara Rabut Paradah ialah hasil sawah di desa Macetra di sebelah selatan bukit Santap berbibit tiga setengah tenah. Ini ketentuan yang pertama. Warga keturunan dari Majapahit yang ikut bersama Sri Kepakisan yang datang dan menjadi raja di Bali ialah keturunan warga Kanuruhan, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Sira Wang Bang. Sesudah itu Arya Kutawaringin. Pangeran Asak mengembara


Halaman 2b


akhirnya sampai dan tinggal di Kapal. Di sini diangkat sebagai menantu oleh Arya Pengalasan berputra laki-laki bernama Pangeran Dauh, Pangeran Nginte dan ada pula yang wanita. Pangeran Nginte berputra Gusti Agung, Gusti di Ler. Pangeran Dauh berputra laki-laki dua orang dan wanita, yang diperistri oleh Pangeran Pande, yang tertua diperistri sepupunya, yang lebih kecil diperistri oleh Pangeran Dauh yang disebut Pangeran Srantik di Camanggawon. Keturunan Arya Kanuruhan: Pangeran Pagatepan dan Pangeran Tangkas. Pangeran Pangalasan menurunkan:


Halaman 3a


Srantik ini kesatria dari Majapahit bersepupu dengan keturunan Pangeran Dauh Bale Agung warga Arya Kepakisan menjadi menteri Dalem Kepakisan yang keturunannya antara lain: Pangeran Batan Jeruk, Pangeran Nyuh Aya, Pangeran Asak. Keturunan Arya Wang Bang, Sang Penataran, Tohjiwa, Singarsa termasuk rumpun warga Pengalasan. Keturunan Arya Kenceng yaitu: Tabanan dan Badung, Keturunan Arya Belog: Buringkit dan Kaba-kaba. Keturunan Arya Wang Bang: Pring dan Cagahan Keturunan Arya Kutawaringin: Kubon Tubuh. Tiga orang wesya dari


Halaman 3b


Majapahit yang bernama Tan Kober, Tan Mundur dan Tan Kawur. Keturunannya ialah Pacung, Abiansemal dan Cacahan. Pangeran Pande bersaudara dengan Pangeran Anjarame yang kawin dengan saudara Pangeran Anglurah Kanca. Mempunyai anak yang kawin dengan Pangeran Jelantik. Pangeran Pande mengambil istri ke Kapal menurunkan Arya Dauh yang ada sekarang. Dan I Gusti Agung berputra lima orang pria dan wanita tiga orang antara lain: I Gusti Kacang Pawos, I Gusti Intaran. I Gusti di Ler berputra sepuluh orang pria antara lain: I Gusti Penida dan yang wanita kawin ke Kapal (Gelgel) dengan I Gusti Kubon Tubuh. Ini merupakan mufakat dan ketulusan hati yang tersebut di atas ngemong pura-pura di Besakih. Semoga berhasil dan bahagia.


Halaman 4a


Ini perihal upaya untuk menenteramkan pulau Bali supaya selamat dan selalu berpahala. Sepatutnya Nglurah Sidemen mengawasi ketentuan pura-pura seperti dahulu, tempat bersemayamnya para Dewa dan Batara. Pikiran yang tenteram dilambangkan dengan Padmasana. Padma Nglayang adalah lambang dari Gunung Agung, Gunung Batur adalah lambang dari gunung Indrakila. Di Besakih bagian selatan tempat. bersemayamnya I Dewa Kidul, bangunan gedong bertembok. Persemayaman Ida I Dewa Manik Mas meru bertingkat satu bertiang empat. Persemayaman I Dewa Bangun Sakti meru bertingkat satu bertiang empat. Persemayaman I Dewa Ulun Kulkul meru bertingkat satu bertiang empat. Persemayaman I Dewa Jero Dalem meru bertingkat satu bertiang empat dan persemayaman I Dewa Empu Anggending sebuah gedong. Persemayaman Batara Sri meru bertingkat satu bertiang empat, persemayaman Batara Basukihan meru bertingkat tujuh. Persemayaman Batara Pangubengan meru bertingkat sebelas.


Halaman 4b


Di Penataran, persemayaman I Dewa Atu sebuah meru bertingkat sebelas. Persemayaman I Dewa Paninjoan sebuah meru bertingkat sembilan. Persemayaman I Dewa Mas Mapulilit meru bertingkat sebelas. Ini semua terletak di Penataran Agung. Lengkap dengan tempat jempana semua pura terutama sekali bangunan Sanggar Agung. Bale Agung yang terdiri dari sebelas ruangan, sebuah Kori Agung, di luar pintu gerbang ada dua balai bertiang delapan dan candiraras mengapit pintu gerbang. Perihal persemayaman I Dewa Tegal Besung sebuah meru bertingkat sebelas. Persemayaman I Dewa Samplangan sebuah meru bertingkat sembilan. Persemayaman I Dewa Enggong sebuah meru bertingkat tujuh. Persemayaman I Dewa Sagening sebuah meru bertingkat lima. Persemayaman I Dewa Made sebuah meru bertingkat tiga. Persemayaman I Dewa Pacekan sebuah meru bertingkat satu berbentuk gedong. Persemayaman Pangeran Tohjiwa sebuah meru bertingkat tiga. Persemayaman I Dewa Pasek sebuah meru bertingkat tiga.


Halaman 5a


Selanjutnya tentang bale mandapa tempat peristirahatan Dalem didampingi oleh Nglurah Sidemen. Dalem seyogyanya mengetahui semua bangunan suci yang ada di pura Batumadeg yang diemong oleh I Dewa Den Bancingah bersama para Arya dan masyarakat di sebelah barat sungai Telagadwaja supaya dalam keadaan baik semuanya. ini ketentuan mengenai persemayaman para Dewa yang diemong oleh Anglurah Sidemen bersama para Arya dan masyarakat desa di sebelah timur sungai Telagadwaja yaitu: Persemayaman I Dewa Gelap sebuah meru bertingkat tiga bertembok berdinding. Persemayaman I Dewa Bukit bersama permaisuri sebuah meru bertingkat satu bertembok. Persemayaman I Dewa Ratu Magelung meru bertingkat tiga bertembok. Persemayaman I Dewa Wisesa sebuah meru bertingkat sebelas dan sebuah candi raras yang merupakan pintu/jalan keluar masuk I Dewa Bukit. Persemayaman Sang Hyang Dedari sebuah balai bertiang empat yang dibuat dari kayu cendana.


Halaman 5b


Persemayaman I Dewa Tureksa sebuah meru bertingkat tujuh. Persemayaman I Dewa Maspahit sebuah meru bertingkat sebelas. Persemayaman I Dewa Manik Makentel sebuah meru bertingkat sebelas, sebuah balai Panggungan beratap ijuk lengkap dengan kain busana, sebuah balai Manguntur. sebuah balai Sumangkirang beratap ijuk. Di luar pintu gerbang dua buah balai Ongkara mengapit pintu. Dan juga dua buah balai Majalila beratap ijuk berhadap-hadapan. Persemayaman I Dewa Manik Geni sebuah meru bertingkat sembilan. Persemayaman I Dewa Penataran sebuah meru bertingkat tujuh. Persemayaman I Dewa Hyangning Made Gunung Agung sebuah meru bertingkat lima. Persemayaman I Dewa Gusti Hyang sebuah meru bertingkat tiga. Persemayaman Ida Hyang Antiga sebuah meru bertingkat satu. Persemayaman I Dewa Hyangning Teges sebuah meru bertingkat satu, semuanya beratap ijuk dan berdinding. Ini bagian yang diemong oleh Anglurah Sidemen. Semua bangunan suci yang berada di Penataran Agung juga menjadi tanggungjawab raja.


Halaman 6a


Dan lagi bangunan suci di pura Dangin Kreteg ditetapkan diemong oleh Arya Karangasem. Demikianlah semua bangunan suci yang tertulis dalam piagam. Dan untuk selanjutnya tentang upakara dan upacara besar maupun kecil menjadi tanggungjawab Anglurah Sidemen, juga mengenai kain-busana usungan para Dewa dan alat-alat perhiasan lainnya dibiayai dengan hasil tanah di Bebandem, Cacakan, Pajegan, Gantalan. Ini harus diingat / diperhatikan oleh Anglurah Sidemen, perlengkapan usungan para Dewa selengkapnya dan kewajiban para pemegang sawah milik raja. Begini anugerah Batara Maospahit. "Wahai turunanku raja Majapahit yang kuberikan gelar Ratu Kepakisan yang menjadi raja Bali, turun temurun harus mentaati dan menghormati piagam ini. Pegang dengan teguh piagam ini dan sebar luaskan di Bali. Dibantu oleh keturunan para Arya yang mengiring dan para punggawa yakni:


Halaman 6b


Arya Kanuruhan, Kenceng, Belog. Delancang. Dan berikutnya warga Wang Bang yang juga turunan Brahmana yang ikut bersama-sama mengarungi samudra dan warga Kuta Waringin. Kepada Sira Wang Bang saya tugaskan menuju Gunung Agung (Besakih) supaya bersama-sama dengan Sang Kul Putih mohon anugerah ke hadapan Dewa (mengabdikan diri ke hadapan para Dewa) langsung sampai ke puncak Gunung Agung. Maka mulai sekarang Sira Wang Bang bersama Sang Mangku Gunung Agung. Sira Wang Bang bertugas menjaga arca Dewa dan piagam Raja yang turun dari Kahyangan. Ini semua hendaknya diemong selama-lamanya, turun temurun. Aku mengatur / menentukan pemujaan kepada para Dewa dan lanjut upacara pengodalan pada hari Rabu Wage, wuku Kulawu, upacara pemujaan setiap hari purnama dan tilem (bulan gelap) Oktober. Nopember. April, Juli. pada saat itulah raja datang bersembahyang ke Besakih bersama para pendeta dan pasukan. Aku memberi ijin untuk mengambil hasil bumi, udara, tegalan dan sawah di desa-desa, hasil pantai, laut dan gunung di sebelah


Halaman 7a


timur sungai Telagadwaja. Terutama hasil tegal dan sawah bukti di desa Muncan. Jumlah uang tujuh belas ribu dan sawah berbibit delapan puluh lima tenah, sebagai biaya dapur dan isi lumbung agung, Sawah-sawah itu terletak di Bukih, Pedengdengan Kelod, sampai ke Keben Aras yang bernama Tinggarata. Pahyasan, Sari, Gunung Sari Lebih, dikenakan bawang putih 2200 biji dan lagi hasil bumi Selat. Ingat barang-barang itu sebagai pengisi lumbung agung yang terletak di halaman luar pura Besakih tempat hasil sawah laba itu seharga 1700. Lumbung itu milik raja dan lumbung pajenengan Batara di Gunung Agung (Besakih). Kalau sudah demikian stabillah persemayaman Dewa dan kedudukan raja. Kalau lumbung Dewa dan milik raja rusak maka diwajibkan desa harus memperbaiki lumbung itu dan mengatapi sampai selesai. Raja memberikan kuasa kepada semua penghulu desa.


Halaman 7b


Peringatan kepada Sedahan Penyarikan: supaya menaikkan padi ke lumbung terutama hasil sawah Santen Dawa Higa yang dipergunakan untuk biaya upacara di pura Besakih dan Batara di puncak Gunung Agung. Bahan upakara itu dibebankan kepada masyarakat desa Sikuhan, Renaasih, Luwih, Suarga Peleng, masing-masing 500 biji dasun putih beserta uang dan ayam putih jantan betina, bunga palawa, bunga kasna yang bunganya melekat menjadi satu dan cemara tiblun. Ini harus dibawa setiap hari Kamis Paing wuku Wayang dan Minggu Paing Dungulan ke halaman luar pura Besakih diterimakan kepada Sedahan Dewa. Jangan lalai jangan alpa dan jangan curang. Ini adalah persembahan raja kepada para Dewa dan Batara yang bersemayam di puncak Gunung Agung. Batara bersabda, "Hai kamu manusia taatilah titahku! Piagam ini telah direstui oleh para Dewa Nawasanga.


Halaman 8a


Jika tidak mentaati Piagam ini semoga kamu sirna dan menjadi lintah". Ini Piagam tahun 1007 Masehi (929 Saka). Om Namobhye namah, Om Sri wastha sattawasar. Raja Majapahit kabarnya dalam keadaan berbaring. Pada waktu itulah Prasasti yang berupa Piagam ini dikeluarkan. Aku adalah Batara Indra, aku ini adalah Batara Maospahit dan aku raja Majapahit bersama-sama bersemayam di pulau Bali. Diceritakan sekarang Dalem Pakisan yang menurunkan raja Bali. Karena ketulusan hati dan kebijaksanaan beliau ibarat Sang Hyang Darma menjadi raja yang dapat mengalahkan raja Bali yang terdahulu. Dan Sira Wang Bang yang mengabdikan diri kepada Batara di Besakih juga mengemong pura tempat bersemayamnya Batara Naga Basukih. Demikianlah kewajibannya selama hidup serta para turunannya mengabdi mempersembahkan air suci. Sira Wang Bang mengantarkan persembahan raja ke hadapan Batara di Kahyangan tatkala bersembahyang ke hadapan yang bersemayam di puncak Gunung Agung dan Batara Pusering Tasik (Tengah samudra) dan lautan madu.


Halaman 8b


Aku mengambil hasil bumi dan angkasa, segala jenis hasil pesisir, lautan dan gunung untuk biaya upacara ke hadapan Batara di Besakih (gunung Agung). Berkat anugerah Batara masyarakat bersatu mematuhinya akibatnya bumi pun makmur. Para Arya semua bersatu yaitu: Arya Kanuruhan, Arya Kenceng, Delancang, Arya Belog, Arya Kuta Waringin. Sabda Batara, "Hai kamu manusia mayapada, jangan engkau durhaka kepadaku. Jika engkau tidak memelihara pura-pura di Besakih persemayaman para Dewa masing-masing dan kalau ada yang rusak tidak kamu perbaiki, tidak bakti, semoga kamu bertikam-tikaman dengan keluargamu dan semoga engkau binasa, martabatmu akan surut dan menderita serta jauh dari keselamatan". Sabda Batara Nawasanga kepada para umat penganut Siwa dan Buda dan para catur wangsa supaya memelihara dan memperbaiki kerusakan pura di Besakih. Apabila waktu bersembahyang melihat warna seperti ijuk sekakab (segabung), itu pertanda turunnya Batara Kidul Bangun Sakti. Ucapkan mantra: Ong, Bang, I, namah. manifestasi Sang Hyang Antaboga yang bersemayam di samudra.


Halaman 9a


Kalau kelihatan seperti air tenang itu pertanda turunnya I Dewa Bukit. Ucapkan mantra: Ong, Yang, Ung, namah. ltulah manifestasi Batara Duhuring Akasa / Batara Naga Basukih. Kalau kelihatan ada cahaya seperti api menyala dan gemerlapan, itu pertanda turunnya Batara Atu. Ucapkan mantra: Ongkara Siwa namah swaha. Manifestasi Sang Hyang Siwa. Apabila kelihatan warna putih berkilau-kilauan itu pertanda turunnya I Dewa Sesa. Ucapkan mantra: Ong, Saswara Indra nama swaha. Manifestasi Sang Hyang Surya. Tampak cahaya berwarna merah itu pertanda turunnya I Dewa Rabut Pradah. Ucapkan mentera: Ong, Bang Yudhaya namah swaha. Manifestasi Batara Brahma. Kelihatan cahaya berwarna kuning seperti emas wilis itu pertanda turunnya Batara Maospahit. Ucapkan mentera: Ong, Ong, Tang namah swaha. Manifestasi Batara Wulan.


Halaman 9b


Kelihatan. cahaya seperti kaca hitam itu pertanda turunnya Batara Batu Madeg. Ucapkan mentera: Ong, Ang, Ung. Kresnaya nama swaha. Manifestasi Batara Wisnu. Kelihatan cahaya seperti perak bertatahkan permata mirah itu pertanda turunnya Batara Basukihan. Ucapkan mentera: Ong, Mang, Siwaya namah swaha. Manifestasi Sang Agawe Pita. Kelihatan cahaya seperti mirah dan intan yang telah digosok itu pertanda turunnya I Dewa Mas Makentel. Ucapkan mentera: Ong, Mang. Siwaya namah swaha. Manifestasi Batara Rabut Sedana Sakti. Kelihatan cahaya seperti air embun seperti permata jamrut itu pertanda turunnya I Dewa Manik Malekah. Ucapkan mentera: Ong, Sang Bhawantu Sri ya namah. Manifestasi Batara Sri. Kelihatan cahaya seperti bunga teleng gemerlapan itu pertanda turunnya Batari Pertiwi. Ucapkan mentera: Ong, Ong, Sri Sundharu ya namah. Manifestasi Batari Kuwuh/Batari Sundhari. Beliaulah yang menciptakan yang indah-indah dan benda-benda berharga dan persemayaman beliau tiada taranya.


Halaman 10a


Kelihatan cahaya seperti kunang-kunang bertaburan itu pertanda turunnya I Dewa Geni / I Dewa Gelap. Ucapkan mentera: Ong Sa, Ba, Ta, nama siwaya. Beliau berwujud baik buruk, bumi dan angkasa. Kelihatan cahaya gelap gulita itu pertanda turunnya Batara Gangga di sebelah selatan Besakih menjadi mata air yang dinamakan Sindu Tunggang. Kisah kenyataan. Kelihatan cahaya gelap gulita turun Batari Gangga di sebelah utara Besakih: menjadi mata air yang dinamakan Sang Hyang Tirta Sakti Amerta. Demikianlah kisah semua mata air pada tahun 122 M. Turun Batara Indra dan membawanya ke Surga. Ini disebut Brahma Tirta terjadi pada tahun 126 Masehi. Turun pada waktu gelap gulita hujan angin kelihatan seperti mas berpermata intan dan terdengar seperti suara gentaworag para Mpu mengalun. Ucapkan mentera: Ong, Nang, Ung, Nang, Ung. Turunlah arca mas bermuka empat, arca perak, tembaga, loyang, besi. Semua bertatahkan permata mirah.


Halaman 10b


Turun pada waktu malam hari disertai topan dan hujan itu pertanda turunnya Sang Hyang Siyem berwarna putih kehijau-hijauan dan Sang Hyang Rabut Pradah diiringi dengan tabuh-tabuhan dengdengkuk. Untuk mengingatkan raja supaya bersembahyang ke Besakih bersama para Arya serta rakyatnya mempersembahkan upacara. Semua mengiring malasti ke pancuran Pamanca (Arca) pada paruh bulan terang dengan kurban berupa babi guling 5, suci, dan lis. Di Pulo Jelepung sawah berbibit dua tenah dan lagi di Kinang sawah berbibit dua setengah tenah di Balu Agung Jelantik sawah berbibit empat tenah di Batu Mangecek berbibit empat tenah. Lagi sawah di daerah Tusan yang terletak di Jati Heling berbibit dua tenah.


Babad Keramas







Isi Singkat Babad Keramas

Pujaan kepada para leluhur, dan pernyataan naskah tersebut adalah Raja Purana Puri Keramas.
Riwayat Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa sebagai raja Koripan, dikalahkan oleh pasukan dari Melayu dan Raja Warawiri (Jawa) hingga wafat pada Çaka 930 (1008 M).
Sri Erlangga yang berada di Jawa sempat menghindarkan diri ke gunung bersama patihnya Narottama. Kemudian baginda menjadi raja Koripan, berputra tiga orang, seorang wanita, dua orang pria, yang bernama Sri Semara Karma dan Sri Jaya Warsa.
Mpu Baradah diutus ke Bali untuk mendudukkan salah seorang putra itu menjadi raja. Ditolak oleh Mpu Kuturan sebab ada putra- putra anak Wungsu yang lebih punya hak untuk itu.
Kerajaan Erlangga dibagi dua oleh Mpu Baradah, Sri Semara Karma menjadi raja Janggala, Sri Jayawarsa raja Kediri. Sering terjadi pertempuran. Sri Semara Karma gugur, tinggal seorang putri di Janggala, bernama Dewi Candrakirana.
Sri Jayawarsa berpulang 1038 Isaka (1116 M). Sri Jayawarsa berputra lima orang yakni Sri Kameswara, Sri Jayabaya, Sri Sarweswara, Sri Hari Swara, Sri Kreta Dwipa.
Tahta Sri Kameswara kemudian digantikan oleh Sri Jayabaya dan selanjutnya berganti Sri Kerta Jaya (Prabu Dangdang Gendis).
Timbul pertempuran antara Kediri dengan Singasari (Çri Rajasa). Karena keangkuhan Dangdang Gendis kepada para pendeta maka akhirnya beliau mengalami kehancuran, Kediri dikuasai Singasari. Di Singasari terjadi pergantian raja berturut-turut dan raja terakhir adalah Sri Kertanegara.
Sri Jayasaba, putra Sri Kameswara kedua, berputra Sri Kresna Kepakisan (Aryeng Kediri). Kediri dikuasai oleh Majapahit, pulau Bali juga segera dapat dikuasai oleh Majapahit setelah tertawannya Pasung Grigis, yang kemudian diperintahkan untuk menggempur Sumbawa. Di Bali ditempatkan seorang Adipati yaitu Sri Kresna Kepakisan berkedudukan di Samprangan, didampingi oleh para Arya keturunan Sri Kameswara, antara lain: Arya Kanuruhan, Arya Pangalasan, Arya Dalancang, Arya Wangbang, Arya Kenceng, Arya Tan Wikan, Arya Manguri, Sira Wangbang, Sira Kutawaringin, Arya Gajah Para. Didampingi tiga orang Wesya, Tan Kober, Tan Kawur Tan Mundur, juga seorang keturunan Kepakisan bernama Nyuh Aya, menjabat patih, Çaka 1272 (1350 M).
Raden Agra Samprangan tidak mau mengendalikan roda pemerintahan, Kyayi Klapodyana menghadap Rahaden Cili dijadikan raja berkedudukan di Swecapura (Gelgel).
Arya Nyuh Aya berputra tujuh orang: Kryan Patandakan (Patih Agung), Kyayi Satra, Kyayi Akah, Kyayi Pelangan, Kyayi Kaloping, Kyayi Cacaran, Kyayi Anggan.
Rahaden Cili (Dalem Ketut) wafat Çaka 1382(1460 M) diganti oleh Dalem Waturenggong, dengan patih agung Kyayi Batan Jeruk putra Kyayi Patandakan.
Setelah wafat Dalem Waturenggong, pada masa pemerintahan Raden Pangarsa (Dalem Bekung) dan Dalem Seganing terjadi perebutan kekuasaan di bawah pimpinan Kyayi Batan Jeruk, namun dapat diatasi, berakibat gugurnya Kyayi Batan Jeruk. Berikutnya yang menjabat Patih Agung adalah Kyayi Manginte, putra dari Arya Asak (saudara dari Nyuh Aya).
Tersebut pula putra- putra Danghyang Nirartha sembilan orang, dari ibu asal Daha dua orang, dari ibu asal Pasuruhan dua orang, dari ibu asal Brangbangan tiga orang, ibu dari Pangeran Mas satu orang, ibu dari abdi Pangeran Mas satu orang.
Kyayi Manginte berputra dua orang, yakni Kyayi Agung Widya dan Kyayi Agung Pranawa.
Dalem Seganing bertahta Çaka 1502 (1580 M), Kyayi Agung Widya berputra lima orang dan Kyayi Pranawa berputra sembilan orang.
Disebutkan pula keturunan para Arya yang lain menggantikan kedudukan para orang tuanya masing-masing.
Dalem Seganing diganti oleh Dalem Dimade, terkenal dengan nama Raden Karangamla. Dalem Dimade berputra dua belas orang.
Ditulis satu per satu keturunan Kyayi Agung Widya dan Kyayi Agung Pranawa.
Kyayi Kubon Tubuh (kedua) berputra dua orang. Kyayi Jumbuh dan Kyayi Nyanyap.
Secara singkat diuraikan riwayat hidup Pungakan Den Bancingah, keturunan Wong Lawu dari Majapahit, kemudian mengungsi ke Desa Nyalian membawa keris Ki Lobar,
Pemberontakan Anglurah Agung Dalem Dimade mengungsi ke Guliang Isaka 1589 sampai dengan 1608 (1667 M s/d 1686 M). Putra-putra Dalem Dimade, Raden Pambayun bersekutu dengan Kyayi Den Bancingah dan Raden Jambe bersekutu dengannya juga, berfungsi selaku pengatur siasat dan juga bersekutu dengan Kyayi Jambe (Badung). Dari Sidemen Raden Jambe mengatur siasat hendak menyerang Kyayi Agung Dimade atau I Gusti Agung Maruti, dengan patihnya Kyayi Dukut Kerta.
Bendesa Nyanyap (Kyayi Kubon Tubuh Karo) setia kepada Kyayi Agung Dimade, sedangkan Kyayi Jumbuh mengiringkan Dalem Dimade. Bandesa Nyanyap belum mempunyai keturunan (anak) maka diberikan seorang istri Kyayi Agung Dimade yang belum awidi widana, yang sedang hamil bernama Ni Gusti Mambal, Bandesa Nyanyap menerima dengan sumpah setia, lahir anak tersebut diberi nama Bandesa Gede Miber.

Dewa Jambe dengan pembela- pembelanya menyerang Swecanegara. Terjadi pertempuran hebat, jatuh korban pada kedua belah pihak. Kyayi Agung berperang tanding dengan Kyayi Jambe Pule, keduanya gugur di medan laga. Pasukan Kyayi Agung kalah, hingga mengungsi ke Jimbaran. Yang mampu menghentikan pertempuran itu adalah Ida Wayan Petung Gading, kelahiran Gelgel, diam di Jimbaran,
Kyayi Agung Dimade berputra empat orang, dua orang pria: I Gusti Putu Agung, I Gusti Agung Made Agung, dan dua orang wanita: I Gusti Agung Ayu Sasih kawin dengan seorang brahmana Geriya Kutuh Kamasan, adiknya ikut ke Jimbaran, bernama I Gusti Agung Ayu Ratih.
I Gusti Agung diam di Jimbaran bersama I Gusti Ler Pacekan putra Kyayi Panida. Kemudian keris Ki Sekar Gadung (pusaka I Gusti Agung) diambil oleh I Gusti Ler Pacekan dengan tipu muslihat, akhirnya I Gusti Agung mengabdikan diri di Badung pada I Gusti Tegeh Kori, tetapi ditolak disuruh mengabdi pada Pangeran Kapal.
I Gusti Agung langsung ke Kapal diiringkan oleh I Melang seorang abdi kepercayaan I Gusti Tegeh Kori, dam bersama-sama mengabdi di sana.
Berkat tipu daya I Melang, timbul peperangan antara Kapal dan Buringkit, dengan alasan putri Buringkit dipermainkan dengan seekor kuda oleh Kyayi Kapal, Kyayi Kapal dikalahkan oleh Buringkit yang dibantu oleh I Gusti Ler Pacekan dengan keris Ki Sekar Gadung.
I Gusti Agung kembali lagi dari Kapal ke Jimbaran. Bertapa di Goa Gong memperoleh keris Ki Bintang Kukus. Kemudian I Gusti Agung menyerang I Gusti Ler Pacekan di Kapal. I Gusti Ler Pacekan dapat dibunuh oleh I Gusti Agung keris Ki Sekar Gadung kembali ke tangan I Gusti Agung, dan kembali ke desa Kapal.
Kemudian I Gusti Made Agung menetap di Kapal. I Gusti Agung Putu Agung kembali ke Jimbaran. Bandesa Gede Miber ikut ke Jimbaran bersama pengiring-pengiringnya semua. Lalu Bandesa Gede Miber disuruh ke desa Rangkes. Anak- anaknya yang masih di Jimbaran diberikan tugas-tugas khusus.
I Gusti Agung Putu pindah dari Jimbaran ke Cawurangka, dan selanjutnya ke desa Keramas - Çaka 1672 (1750 M). Istananya di Jimbaran diberikan kepada Bendesa Salahin.
I Gusti Agung Putu Agung menata Desa Keramas, dengan menguasakan kepada petugas- petugas yang ditunjuknya membentuk desa- desa di sekitarnya.
Keturunan Bendesa Gede Miber: Bendesa Kedeh ditetapkan oleh I Gusti Agung Putu Agung sebagai pangemong pura Masceti turun- temurun. Sedangkan I Sukra di Rangkes dilantik oleh I Gusti Agung Made Agung dengan nama - Bendesa Gde Gumyar, yang mampu mengalahkan Ki Balian Batur.
I Gusti Agung Made Agung berkuasa di Kapal, semua desa-desa di sekitarnya dapat dikuasai.
I Gusti Agung Made Agung merelakan adiknya I Gusti Ayu Ratih menjadi istri Pedanda Wanasara di Tabanan, I Gusti Agung Putu Agung salah paham dan membunuh Pedanda Wanasara, sebelum wafat mengutuk I Gusti Agung Made Agung.
I Gusti Agung Putu Agung juga terkutuk oleh Pedanda Batulumbang yang dibunuh di Cawu Rangke dahulu.
Terjadi percekcokan antara Keramas dengan Serongga, tetapi kemudian berbaik kembali, hingga banyak rakyat Keramas pindah ke Medahan.
I Gusti Agung Putu Agung berputra dua orang, yaitu I Gusti Agung Maruti Katrini dan I Gusti Agung Rai, pindah ke Medahan, semua mempunyai keturunan.
I Gusti Agung Made Agung berputra I Gusti Agung Blangbangan yang banyak keturunannya.
I Dewa Manggis (Gianyar) menguasai daerah-daerah/ desa-desa sebelah timur kekuasaan Mengwi sampai dengan daerah I Gusti Gede Keramas.
Keraton I Gusti Ngurah Jlantik Blahbatuh, mengalami kehancuran akibat kutukan seorang istrinya dari Puri Keramas bernama I Gusti Ayu Muter yang dibunuh tanpa dosa, kemudian dibuatkan pura bernama Suka Lewih.
Terjadi percekcokan antara Gianyar dengan Klungkung, Gianyar tidak taat lagi kepada Klungkung. Keramas diadu oleh Gianyar dengan pimpinannya bernama I Gusti Agung Palak, Bakas, dan Nyalian dapat dikuasai oleh Gianyar.
I Gusti Agung Palak tidak diterima lagi oleh keluarganya di Keramas, karena keris pusakanya Ki Bintang Kukus telah diambil oleh I Dewa Manggis.
Kerajaan Gianyar dikendalikan oleh I Dewa Manggis dengan Patih Ki Pasek Cedok.
Dilanjutkan dengan susunan silsilah Puri Keramas, dan perpindahan keluarga serta peristiwa- peristiwa yang pada umumnya berkisar pada kekeluargaan (lokal) Puri Kaleran, Kanginan Medahan, dan lain-lain.

Nama/ Judul Babad : Babad Keramas
Koleksi : A. A. Raka Parta.
Alamat : Puri Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.
Bahasa : Jawa Kuna.
Huruf : Bali
Jumlah halaman : 43 lembar (1a s/d 43a)

LUKLUK